Siapa sih orang muda hari ini yang tidak mempunyai salah satu akun media sosial seperti berikut: Instagram, TikTok, YouTube, Facebook, atau Twitter? Kebanyakan dari kita pasti mempunyai salah satu akun tersebut. Dengan jumlah pengguna yang sangat banyak, media sosial tersebut memang menjadi wadah yang sangat cocok untuk menampilkan diri kita kepada orang lain. Kita berlomba-lomba untuk membuat postingan agar kita mendapatkan followers yang banyak dan dikenal oleh banyak orang, atau setidaknya untuk mengekspresikan diri sendiri, “This is me.”
Semangat “This is me” atau semangat untuk eksis inilah yang menjadi kerinduan banyak orang muda hari ini. Banyak yang ingin tampil di depan, tetapi sedikit yang bisa menahan diri untuk tetap stay low. Banyak yang ingin menjadi terkenal, tetapi sedikit yang rela bekerja behind-the-scene dan rela tidak dipandang oleh orang lain.
Loh, emang salah ya untuk menjadi eksis dan dikenal oleh banyak orang? Bukannya nanti kalau sudah terkenal dan punya banyak followers kita justru bisa bikin postingan tentang Tuhan Yesus supaya orang lain mengenal Dia?
Masalah utamanya bukan terletak pada “dikenal oleh banyak orang,” melainkan pada alasan di baliknya, yaitu “This is me”-nya. Sebagai pemuda-pemudi Kristen, kita tidak dipanggil untuk menunjukkan siapa kita atau apa kehebatan kita. Inilah yang menjadi kesulitan dan godaan anak-anak muda, yaitu kita-kita ini. Jadi, orang Kristen itu dipanggil untuk apa? Kita dipanggil justru untuk menunjukkan siapa Tuhan kita, sama seperti Yohanes Pembaptis yang mengatakan, “Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil” (Yohanes 3:30).
Ketika cahaya lampu dalam sebuah ruangan terlalu terang, orang-orang yang di dalam ruangan tersebut akan protes, “Ini terlalu silau, redupkan sedikit lampunya.” Sebaliknya, ketika cahaya lampu dalam sebuah ruangan remang-remang, orang juga akan protes, “Ini terlalu gelap, nyalakan lebih banyak lampu.” Namun, ketika pencahayaan lampu dalam sebuah ruangan sudah pas, orang-orang tersebut mungkin akan menganggap sepi dan bahkan justru tidak menghiraukan keberadaan lampu tersebut. Maukah kita menjadi lampu yang terakhir ini? Memberikan pengaruh cahaya Kristus kepada orang-orang yang berada di ruangan gelap tersebut – sehingga mereka dapat melihat dan merasakan manfaatnya – tetapi rela jika diri kita tidak dianggap? (SI)

