The Wrath Of God

Christian Life

The Wrath Of God

24 April 2017

Kebaikan selalu diidentikkan dengan kelemahlembutan, senyum yang lebar, kesabaran tanpa batas, tidak pernah menghukum apalagi memukul, dan wajah “pantas di-bully” yang tidak pernah sedikit pun menunjukkan kemarahan. Seorang pemimpin yang tegas dan yang tidak segan memarahi siapa saja yang melanggar aturan, tidak akan dicintai di zaman ini. Seorang guru bisa masuk penjara karena memukul muridnya dengan maksud untuk mendidik. Masa orientasi sekolah masa kini sangat melindungi anak-anaknya, cenderung lunak, dan lebih “ringan” di satu sisi, walaupun di sisi lain, kita juga bisa melihat penyalahgunaan senioritas dalam masa orientasi sekolah. Keadilan, ketegasan, kemarahan, belas kasihan atau kesabaran, siapa yang berhak menjadi patokan di dalam melakukan hal-hal tersebut?

Jawabannya pasti Allah, karena secara umum kita mengenal Allah sebagai Allah yang kasih, penyayang, dan baik hati. Allah tidak akan pernah marah-marah dan selalu memberi belas kasihan. Benarkah demikian? Kita selalu memakai pemikiran manusia berdosa untuk menggambarkan seperti apa Allah itu, kita lupa bahwa Allah yang kita sembah bukanlah objek buatan manusia. Dia adalah Allah Pencipta langit dan bumi, Allah yang pernah hadir di dalam dunia, dan memperkenalkan diri-Nya kepada kita melalui Anak-Nya. Ia menyampaikan kehendak-Nya melalui firman-Nya. Alkitab mencatat, ada kalanya Allah itu marah dan bahkan murka. Kitab Nahum mencatat murka Allah terhadap kota Niniwe sehingga Niniwe dan setiap orang di dalamnya lenyap dari sejarah manusia. Niniwe adalah ibukota Asyur dengan kekayaan yang berlimpah, bangunan yang indah, serta militer yang kuat, sangat jauh dari bayangan bahwa kota ini akan hancur pada tahun 612 SM. Bagaimana mungkin Allah murka? Allah yang kasih, saat itu murka dan bahkan “tega” melenyapkan Niniwe. Kita harus melihat ke belakang, bahwa Allah tidak murka tanpa sebab. Dia murka karena ketidaktaatan Niniwe. Allah pernah berbelas kasih kepada Niniwe, dengan mengutus Yunus sekitar 100 tahun sebelum kehancuran, supaya mereka bertobat. Niniwe memang bertobat saat itu, namun Niniwe kembali menjadi budak dosa. Kota ini menyembah berhala, melakukan eksploitasi terhadap negara yang dikalahkannya dalam perang, bersundal, dan memperbudak. Dalam Nahum 3:4 dikatakan bahwa Niniwe adalah pengkhianat bangsa, kota persundalan, dan penyembah berhala.

Kitab Nahum menggambarkan Allah yang adalah kasih, juga adalah Allah yang adil. Allah murka ketika umat-Nya, yang adalah milik-Nya, menyeleweng dengan allah lain. Allah murka ketika umat-Nya tidak mengindahkan perintah-Nya. Allah murka ketika kekudusan-Nya dilanggar. Kita sering kali melupakan sisi keadilan Allah, dan kita menjadi Niniwe di zaman ini yang hobi menyeleweng tanpa rasa takut akan murka-Nya. Berulang kali melakukan dosa tanpa penyesalan dan dengan sadar mengulangi hal itu. Maka ingatlah, Allah bisa murka!

Marah menjadi sah dan bahkan harus dilakukan, jika kekudusan Allah dilanggar, dan bukannya marah karena kepentingan pribadi dilanggar atau jika diri ini disakiti. Kemarahan harus didasarkan pada kasih, keadilan, kemurahan, kesucian, dan semua sifat Allah. Tanpa kasih, kemarahan kita hanya akan menjadi luapan emosi dari hati yang mungkin merasa lebih benar di hadapan Allah, atau menjadi suatu kesempatan untuk menunjukkan kesalahan orang lain. Sebaliknya tanpa berlandaskan keadilan Allah, kita tidak akan mau repot marah-marah untuk menegur pelanggaran, untuk mengingatkan akan dosa. Tanpa kemurahan, kemarahan kita akan terus-menerus tanpa akhir, dan akhirnya tanpa tujuan. Maka, ketika hati kita harus marah, ingat pula bahwa kita pun seharusnya mendapat murka Allah, namun karena kasih-Nya, Dia mengampuni kita. Berdoalah meminta kebijaksanaan seperti yang Salomo minta, supaya kita bisa membedakan kapan dan bagaimana kita harus marah, dan kapan kita tidak perlu marah, agar melalui kemarahan pun kita sedang menyatakan Allah. Soli Deo Gloria. (KK)