Yesus berkata, “Akulah Jalan dan Kebenaran dan Hidup, tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yoh 14:6). AMIN!
Semua orang Kristen pasti mengaminkan kalimat tersebut. Hanya Yesus Kristus satu-satunya jalan kebenaran dan hidup. Tetapi apakah kita sungguh-sungguh mengaminkannya? Kita boleh saja yakin dengan pernyataan tersebut. Tetapi saat ditanya, “Mana Buktinya?”, kita justru hanya terdiam. Kita mungkin cuma berkata, “Pokoknya Alkitab bilang seperti itu, percaya saja, tidak perlu banyak tanya”. Kita bahkan tidak berani menyatakan kebenaran itu, lalu berbagai alasan kita utarakan untuk merasionalisasikannya. Seperti takut dibilang sombong, memecah belah, tidak ada toleransi, memaksakan kehendak, dan lain sebagainya.
Padahal rasul Petrus berkata bahwa setiap orang Kristen dituntut untuk mempertanggungjawabkan iman mereka, supaya nyata iman kekristenan itu sungguh benar dan layak dipertimbangkan oleh semua orang. Jikalau kita percaya iman Kristen itu yang benar, maka sudah sepatutnya kita menyatakan itu kepada mereka yang belum percaya. Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana kita dapat membuktikan iman Kristen itu benar?
Jawabannya pun bisa sangat beragam. Bagi yang tidak mau debat panjang lebar akan menjawab, “Percaya saja, Kristen itu sudah benar dari sononya”. Ada pula yang membalas, "Tidak bisa begitu, iman Kristen itu benar lewat perbuatannya, rajin beribadah, tidak mencuri, tidak membunuh, dan hidup bermoral baik”. Tetapi jika perbuatan baik saja tidak cukup, apa bedanya kekristenan dengan agama lain? Bukankah mereka juga beribadah dan bermoral baik? Maka muncul pendapat ketiga yang mengatakan kita perlu belajar Alkitab baik-baik. Supaya orang Kristen sadar dan mengerti mengapa iman Kristen itu yang benar. Jadi jawaban mana yang tepat?
Ada kalanya kita memang perlu percaya iman Kristen itu sungguh benar karena Alkitab jelas mengatakan demikian. Alkitab sendiri adalah wahyu Allah yang tidak mungkin salah karena Allah adalah satu-satunya kebenaran. Maka kita perlu kembali kepada Alkitab. Kita perlu belajar baik-baik apa yang Alkitab katakan. Sehingga kita sungguh-sungguh mengerti apa yang kita imani.
Tetapi istilah “mengerti” di sini bukan sekadar mengerti secara kognitif. Apa gunanya kita mengerti seluruh isi Alkitab, tetapi tidak satupun tindakan hidup kita yang sejalan dengannya. Kita sering kali menyempitkan pengertian benar dan salah hanya sebagai kemampuan kognitif belaka. Allah tidak sekadar menuntut pengetahuan secara kognitif, melainkan seluruh pengetahuan itu dapat ternyatakan dalam iman dan tingkah laku hidup kita.
Jadi, bagaimana kita dapat membuktikan iman Kristen itu benar? Hanya cukup percaya, lewat perbuatan, atau pengertian? John Frame di dalam bukunya, “Doctrine of the Word of God” mengatakan solusinya bukan memilih mana yang paling benar. Tetapi melihat bagaimana ketiga hal tersebut sebagai tiga perspektif menuju iman yang benar. Untuk membuktikan iman Kristen itu benar, kita perlu menyatakannya di dalam sisi normatif. Ada kebenaran iman yang kita pelajari melalui Alkitab. Kemudian kebenaran itu kita terapkan di dalam kehidupan sehari-hari sebagai perspektif situasional. Iman kekristenan itu kita nyatakan saat kita belajar, bekerja, beribadah, sampai cara kita berelasi dengan orang. Terakhir, kedua hal ini, pengertian dan penerapannya diikat oleh keberadaan kita sebagai orang Kristen. Ini yang disebut sebagai kebenaran dalam sisi eksistensial. Iman yang dibuktikan melalui keberadaan kita sebagai orang Kristen.
Melalui penjabaran ini dapat kita simpulkan bahwa bukan tugas yang mudah untuk menyatakan kebenaran iman Kristen. Hal ini tidak sekadar mengerti secara kognitif maupun pemaparan secara sistematis, melainkan iman itu perlu kita terapkan dalam hidup. Supaya nyata bahwa apa yang kita imani bukan sekadar ucapan di mulut saja, tetapi juga hadir di dalam setiap kelakuan hidup kita. Ada kuasa yang menarik setiap orang non-kristen melihat kepada kebenaran. Jadi daripada menjadikan ini beban, jadikanlah ini sebagai dorongan untuk lebih giat lagi dalam penginjilan. Kiranya Tuhan memampukan kita untuk menjalankan tanggung jawab ini, seperti perkataan rasul Petrus, “Siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu.” (1 Petrus 3:15). Amin. (TP)

