Hampir setiap hari kita muak hanya dengan melihat sekitar kita. Melihat dunia ini sudah cukup buat kita jengkel, saat bangun di pagi hari dan dengan terpaksa menjalani rutinitas yang kesannya sangat membosankan. Bosan karena yang dikerjakan hanya itu-itu saja. Bosan karena yang dijumpai hanya orang-orang itu saja. Kita melihat dunia ini sepertinya tidak ada yang sesuai dengan ekspektasi kita dan terus berulang. Kita melihat dunia ini seolah-olah seperti kehilangan kesempatan untuk berpengharapan. Mulai dengan permasalahan sosial-politik yang terus menerus menampilkan wajah buruknya dengan pola yang sama namun dengan penampakan yang berbeda. Belum lagi masalah-masalah lainnya di tempat kerja kita masing-masing, studi kita, relasi kita dengan orang-orang terdekat serta yang kita sayangi, dan tak terkecuali di tengah-tengah umat Allah. Melihat semua ini tentu sangat berdampak bagi kita sebagai pribadi untuk merespons setiap kejadian yang kita hadapi dan mengharuskan kita untuk berespons. Entah ini respons yang mendorong kita maju dan memikirkan solusi yang tepat atau dengan membenamkan diri kita dalam setiap keadaan dan membiarkan keadaan tersebut secara leluasa membawa rasio dan afeksi kita ke mana pun mereka mau. Di tengah kegalauan hidup ini, kita akhirnya hanya bisa membiarkan dunia ini yang memberikan kita solusi, solusi praktis. Ya sudahlah, hidup memang begitu, jalani saja, terima saja nasib kita ini. Namun kita sering lupa kalau respons kita tidak hanya memengaruhi diri kita sendiri, melainkan juga orang lain atau komunitas di mana kita berada.
Namun di balik semuanya itu, ada hal penting yang sering kita lupakan. Kita lupa bagaimana seharusnya kita melihat sekitar kita. Dengan kacamata apa kita melihatnya? Kacamata super-me? Kacamata dunia ini? Atau kacamata “bucin”? Hehehe. Sungguh sangat-sangat disayangkan jikalau kita sebagai orang Kristen membuat kacamata kita sendiri. Kacamata yang kita bentuk dari pengalaman kita sehari-hari sebagai manusia berdosa, tradisi ataupun kebudayaan di lingkungan kita yang sudah tercemar dosa, dan dari asumsi-asumsi jahat kita yang sangat spekulatif karena dibekali natur berdosa yang memusuhi Allah. Begitu menyedihkannya hidup menggunakan nama Kristus (baca: orang Kristen) tetapi dengan menjadikan cara dunia ini berpikir sebagai milik kepunyaan kita yang ultima. Alangkah bodohnya jika kita menyerahkan afeksi-afeksi kita yang naif yang sudah tercemar dosa untuk berpikir yang justru kemudian membuat langkah kita selanjutnya makin jauh dari Allah. Di dalam kebodohan kita sering kali kita menganggap kacamata yang Allah berikan kepada kita adalah buruk buat kita. Kita menganggap kolot dan tidak relevan kacamata pemberian Kristus melalui pengorbanan-Nya di kayu salib. Bukankah seharusnya kacamata pemberian Kristus yang dalam anugerah-Nya kepada kita membuat kita bergairah dan mencintai Dia lebih lagi dengan benar? Hanya diri kita sendiri yang mengetahuinya dari lubuk hati kita paling dalam dan oleh karena itu mari kita renungkan hal tersebut dan mempertanggungjawabkannya di hadapan Penebus kita.
Sebagai orang Kristen, kita diberikan Roh Kudus untuk memimpin dan menguatkan hidup kita setiap harinya agar kita mau berjuang dan ngotot hidup bagi Tuhan. Sebagai anggota tubuh Kristus, kita dipersatukan dengan anggota tubuh Kristus lainnya untuk saling melayani dan terus membentuk kacamata kita sehingga kita boleh melihat dengan benar; melihat dunia ini, diri kita, sesama kita, dan gereja Tuhan dengan penuh kasih dan harapan. Ketika kita melihat apa yang Allah mau kita lihat, di situlah nama Allah dipermuliakan melalui hidup kita. Maukah kita melepaskan kacamata dunia ini dan mengenakan kacamata yang telah Allah bentuk bagi kita? (RB)

