Love That Will Not Let Me Go

Christian Life

Love That Will Not Let Me Go

10 April 2017

Setiap orang ingin dimengerti, dicintai, dan disayang. Namun terlalu sering kita merasa disalahmengerti, tidak dicintai, dan tidak disayang; apalagi kalau kita memiliki banyak kekurangan, baik secara fisik, sifat, maupun status dalam masyarakat.

George Matheson merupakan salah satu orang yang mengalami kesulitan ini. Dia lahir di Glasgow, Skotlandia pada tahun 1842. Matheson memiliki penglihatan yang buruk sejak lahir dan dia divonis buta pada usia 15 tahun. Tetapi fakta pahit ini tidak membuatnya kecil hati. Dia mempelajari theologia di University of Glasgow dan lulus pada usia 19 tahun. Tiga saudara perempuannya terus menolong dan memberikan dukungan dengan mengajarkannya bahasa Ibrani, Yunani, dan Latin.

Setelah lulus, Matheson menjadi seorang pendeta di kota Innellan di Skotlandia. Karena pelayanannya yang begitu baik, dia pun dipanggil untuk melayani di gereja St. Bernard yang jauh lebih besar di Edinburgh.

Pada tahun 1882, di sebuah pesta pernikahan salah seorang saudarinya, sesuatu terjadi pada dirinya. Sesuatu yang dia sendiri mendeskirpsikannya sebagai “penderitaan mental yang paling parah”. Matheson sendiri tidak pernah menjelaskan apa yang membuat dia mengalami penderitaan mental tersebut. Namun orang yang mengetahui latar belakang Matheson, menebak bahwa dia telah mengingat pengalaman pahit yang dia alami beberapa tahun sebelumnya. Seorang wanita yang sangat dicintainya telah memutuskan pertunangannya, karena ia tidak dapat melihat dirinya menikah dengan seorang yang buta. Sampai pada akhir hidupnya, Matheson tidak pernah menikah dan mungkin sekali acara pernikahan saudarinya telah membawa kembali memori tentang seorang wanita yang dia sangat kasihi itu. Sebuah memori yang mengingatkan akan fakta bahwa dia sendiri tidak pernah merasakan indahnya sebuah pernikahan.

Mari kita renungkan. Kalau kita jadi Matheson, kira-kira apa yang akan kita lakukan, ya? Mendengarkan lagu galau? Marah? Menyalahkan orang lain? Mabuk-mabukan? Narkoba?

“Penderitaan mental yang paling parah” inilah yang menginspirasi sebuah syair yang ditulisnya hanya dalam waktu 5 menit saja. Syair ini mengisahkan bagaimana Matheson sadar bahwa kasih Tuhan tidak pernah meninggalkannya, walaupun wanita yang paling dicintainya meninggalkannya. Dalam kesakitannya dia mendapatkan sukacita dan hanya dalam salib Kristuslah pengharapannya. Demikian lirik syair yang ditulisnya dalam bahasa Inggris:

O Love that wilt not let me go,
I rest my weary soul in thee;
I give thee back the life I owe,
That in thine ocean depths its flow
May richer, fuller be.

O Light that followest all my way,
I yield my flickering torch to thee;
My heart restores its borrowed ray,
That in thy sunshine’s blaze its day
May brighter, fairer be.

O Joy that seekest me through pain,
I cannot close my heart to thee;
I trace the rainbow through the rain,
And feel the promise is not vain,
That morn shall tearless be.

O Cross that liftest up my head,
I dare not ask to fly from thee;
I lay in dust life’s glory dead,
And from the ground there blossoms red
Life that shall endless be.

Matheson mengalami dua kejadian buruk yang dapat membuatnya gila – menjadi buta dan ditinggalkan seorang wanita yang dicintainya. Namun seperti yang diungkapkannya melalui lagu di atas, kita belajar bahwa Matheson menaruh pengharapannya kepada Tuhan. Dia percaya Tuhan tidak akan pernah melupakan dan meninggalkannya. Tuhan akan memberikan terang dalam setiap pergumulan hidupnya, Tuhan juga yang akan memberikan sukacita dalam kesengsaraannya, dan hanya karena Tuhanlah hidupnya memiliki arti. Bagaimana dengan hidup kita? (EYST)