Give Us This Day Our Daily Bread

Christian Life

Give Us This Day Our Daily Bread

31 July 2017

Saat Israel berjalan di padang gurun selama 40 tahun, mereka tentu membutuhkan kekuatan fisik yang tidak sedikit. Mereka memerlukan kekuatan fisik yang besar, kesehatan yang cukup, perlengkapan yang cukup, dan makanan yang cukup untuk menunjang mereka berada di padang gurun selama 40 tahun. Namun, perlu diingat bahwa mereka adalah orang yang keluar dari Mesir dengan terburu-buru, sehingga tentu saja tidak dapat mencukupi diri mereka dengan semuanya itu. Kalaupun ada yang menyiapkan, kekuatan manusia hanya mampu membawa makanan untuk dirinya paling tidak hanya untuk 2 minggu atau 1 bulan kehidupan. Tapi untuk 40 tahun? Tidak ada yang mampu untuk itu, dan memang dalam kisah ini, Tuhanlah yang mengatur agar mereka tetap sanggup berjalan selama 40 tahun di padang gurun. Begitu banyak anugerah yang didapat, dimulai dari manna yang turun dari surga setiap hari (untuk mencukupi kebutuhan perut mereka), pakaian dan kasut yang tidak pernah rusak, kesehatan dan kekuatan fisik yang terus ada walaupun mereka berada di padang gurun, dsb. Perlu diingat bahwa padang gurun bukanlah tempat yang kondusif untuk bermukim. Ditambah lagi dengan cuaca yang ekstrim panas di siang dan ekstrim dingin di malam harinya. Semua anugerah itu diberikan semata-mata untuk menunjang mereka berjalan menuju Kanaan.

Tetapi coba kita cermati respon bangsa Israel, salah satunya ketika mereka mendapatkan manna. Mereka sudah diperingati bahwa manna hanya boleh diambil untuk kebutuhan satu hari saja, tidak boleh lebih. Tetapi karena keserakahan dan juga mencurigai Tuhan, mereka ada yang mengambil lebih dari kebutuhan satu hari itu dan menyimpannya sehingga manna itu jadi berulat dan berbau busuk. Mereka menganggap manna itu sebagai jaminan masa depan atau hari esok. Tindakan menyimpan manna itu menandakan ketidakpercayaan mereka pada Tuhan dan pengertian mereka yang salah bahwa kerja keras mereka sendirilah yang akan memelihara mereka di padang gurun. Tidak adanya kesadaran bahwa selama ini kehidupan mereka di padang gurun adalah karena topangan tangan Tuhan.

Dosa yang sama terus terjadi bahkan sampai saat ini, hanya bedanya kitalah orang Israel-nya. Anugerah demi anugerah yang Tuhan berikan kepada kita, telah kita anggap sebagai tujuan dan jaminan hari esok. Kita lupa bahwa tujuan dari anugerah itu diberikan adalah untuk kita dapat terus berjalan menjalankan kehendak Tuhan. Oleh karena kesalahan itulah, kita memperlakukan anugerah itu dengan cara yang berbeda dari yang Tuhan inginkan. Kita menjaga anugerah itu baik-baik hingga sampai melupakan Pemberi anugerahnya. Sebut saja misalnya anugerah seperti kuliah kita ataupun pekerjaan kita.

Kebanyakan dari kita yang berkuliah ataupun bekerja pasti sering merasakan tidak cukup waktu, kesibukan yang tiada henti, dan deadline demi deadline yang terus merongrong hidup kita. Demi mencapai tujuan kita dalam kuliah maupun pekerjaan, kita rela lembur berhari-hari tanpa istirahat yang cukup, dan sering juga demi hal itu, kita melupakan waktu relasi pribadi kita dengan Tuhan, waktu membaca Alkitab, waktu pelayanan, waktu berdoa, dsb. Bukankah semuanya itu adalah anugerah dari satu sumber yaitu Allah? Mengapa kita bisa anggap anugerah yang satu sebagai berkat dan yang lainnya sebagai beban? Ketika melakukan apa yang kita sukai atau yang kita mau, seberapa lamanya pun tidak akan dirasa cukup, tetapi saat melakukan apa yang tidak kita sukai, baru sebentar saja sudah terasa lama. Ini adalah keberdosaaan kita yang seringkali tidak kita sadari.

Suatu fakta bahwa ketakutan kita akan kuliah yang berantakan atau dipecat dari pekerjaan kita, telah jauh melebihi takut kita kepada Allah itu sendiri. Padahal Allah-lah yang memberikan kita anugerah untuk kita bisa berkuliah, sedangkan di tempat lain, jutaan orang lain harus membanting tulang dan tidak bisa berkuliah. Allah jugalah yang memberikan kita anugerah sehingga kita bisa bekerja, padahal jutaan orang telah menjadi pengangguran setiap tahunnya.

Bagian ayat 11 dari doa “Bapa Kami” yang diajarkan oleh Tuhan Yesus bukanlah suatu doa yang egois, dan berpusat kepada diri, ambisi, dan kebutuhan kita sendiri. Doa ini diajarkan agar kita bisa mengutamakan dan mengembalikan kemuliaan pada Tuhan. Memang kita adalah manusia dengan tubuh yang mempunyai kebutuhan materi, namun materi bukanlah tujuan apalagi ilah di mana kita bersandar padanya, melainkan itu adalah pemberian Tuhan agar hidup kita bisa diisi dan disambung untuk melayani Tuhan. Biarlah yang materi tetap menjadi materi, dan Allah tetap Allah. Seperti kata Pendeta Stephen Tong dalam khotbahnya, “Yang utama dan mutlak haruslah diutamakan dan dimutlakkan, sementara yang tidak utama dan tidak mutlak janganlah diutamakan atau dimutlakkan.”

Marilah kita minta belas kasihan Tuhan, agar kita dapat menyadari setiap anugerah yang datang kepada kita, dan dapat meresponinya dengan benar. Bukan memperilah anugerah, tetapi memperalatnya untuk kepentingan sang pemberi anugerah. Sehingga setiap anugerah itu membuat kita menjadi manusia, peta teladan Allah. (TH)