Pengampunan merupakan satu tema penting dalam kekristenan. Kita semua telah bersalah di hadapan Allah, dan Allah yang adil selayaknya menghukum kita. Tetapi di dalam Kristus ada belas kasihan Allah dan pengampunan. Kristuslah yang menanggung keadilan Allah bagi umat-Nya. Maka itu pula, dalam Doa Bapa Kami kita berdoa, "Ampunilah kami atas kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami." Tetapi nyatanya kita sulit untuk menghidupi kalimat ini. Sulit untuk mengampuni sesama yang bersalah kepada kita.
Kenapa? Mungkin karena kita sulit untuk menjalankan belas kasihan. Maka itu kita jadi sulit untuk melepas hak kita untuk menuntut balik orang yang bersalah kepada kita. Dalam hati kita panas, emosi, marah, atau ingin sekali orang tersebut merasakan apa yang kita rasakan. Kita merasa berhak membalas, dan kita sulit membayangkan orang tersebut menerima pengampunan. Makin sulit lagi waktu kita sadar bahwa Allah mau berbelaskasihan bagi orang tersebut. Padahal kita bukan tidak tahu bahwa pembalasan adalah haknya Allah.
Mungkin ini yang dirasakan Yunus. Dia sulit untuk menerima bahwa Allah adalah "Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia, serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya". Kesulitannya adalah, mengapa pengampunan bisa sampai kepada bangsa Niniwe? Bukankah mereka orang-orang Asyur, yang jahat itu? Mengapa Allah berbelaskasihan dan membagikan pengampunan-Nya kepada mereka? Mereka itu kan jahat, bukankah seharusnya Allah menimpakan malapetaka kepada mereka?
Karena inilah Yunus melawan panggilan Allah. Secara ironi di pasal 1 dia lari menjauhi tempat tujuan, bahkan lebih baik mati saja, tetapi para pelaut itu malah bertobat karena kejadian tersebut. Di dalam perut ikan kita pikir dia sudah bertobat, tetapi dari nyanyian mazmur ucapan syukurnya tidak mengandung sedikit pun kalimat pertobatan. Demikian juga di pasal 3 kita pikir dia sudah taat, ternyata dia hanya khotbah sangat pendek dan seadanya saja, bahkan lebih mirip omelan belaka. Tetapi Allah betul-betul berbelaskasihan kepada orang Niniwe, sehingga ada pertobatan satu kota melalui khotbah Yunus yang setengah hati itu.
Sering kali di Perjanjian Lama, ketika Allah berbelaskasihan kepada umat di luar Israel, Allah sebetulnya memberikan peringatan dan penghakiman kepada umat-Nya. Umat Allah dapat menikmati belas kasihan Allah, bersukacita karena itu, tetapi jarang sekali hidup sebagaimana Allah memanggil mereka untuk hidup. Sama seperti Yunus yang memberontak, sampai dia memilih untuk mati saja. Mati karena apa? Karena tidak bisa terima sifat Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih.
Dan ini menggambarkan kita juga. Kita yang sulit untuk mengampuni orang. Kita yang sulit menerima bahwa belas kasihan Tuhan bisa mencapai orang-orang yang kita pikir tidak ada harapannya lagi. Bukan hanya kebebalan orang Israel saja, kisah Yunus juga menunjukkan seberapa tegar tengkuknya kita.
Kita harus terus mengingat peringatan ini. Fakta bahwa kita bisa jadi umat Allah pun semata-mata karena sifat Allah yang pengasih dan penyayang. Oleh karena itu marilah kita belajar untuk berbelaskasihan seperti Allah berbelaskasihan, sebagaimana di ayat terakhir Allah mengajak Yunus untuk punya belas kasihan kepada orang-orang Niniwe, yang tidak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri. Kiranya Tuhan memberikan kepada kita hati yang berbelaskasihan kepada orang lain, termasuk orang yang kita benci, sebagaimana Allah telah berbelaskasihan kepada kita yang adalah seteru Allah. (TK)

