The Absence of Meaning

The Purpose of Life (Part 1)

The Absence of Meaning

9 November 2015

“Mengapa kita ada?”
“Apa itu kehidupan?”
“Apa makna dan tujuan hidup kita?”

Kita sering mendengar pertanyaan-pertanyaan di atas, atau mungkin kita adalah salah satu dari mereka yang pernah menanyakannya. Di saat yang sama, kita sadar bahwa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut jarang sekali memuaskan. Kita mungkin bisa membayangkan bagaimana sulitnya kondisi orang yang diperhadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan demikian. Tidak jarang, kita mengalihkan perhatian kita dari pertanyaan-pertanyaan demikian dengan menggunakan alasan-alasan seperti, “pertanyaan kayak gini buang waktu gue, mustinya gue cari duit atau belajar atau *insert your activity here*”. Namun, suka tidak suka, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak akan pernah berhenti mengusik kita.

Kehidupan kita terlihat seperti “bola rutinitas” yang terus berputar di porosnya. Bangun tidur, mandi, makan, pergi ke kampus atau tempat kerja, pulang, kalau memungkinkan update status, kemudian tidur kembali, kira-kira seperti inilah kehidupan yang kita jalani setiap harinya. Kadang-kadang makan lebih enak, kadang-kadang makan kurang enak. Kadang-kadang bisa tidur cukup, kadang-kadang perlu tidak tidur untuk menyelesaikan tanggung jawab kuliah atau pekerjaan. Permisi tanya, untuk apakah semua hal ini kita lakukan? Mengapa kita terus menerus berputar di dalam keseharian, yang terlihat seolah-olah tanpa ujung? Apakah kehidupan dan seluruh jerih payahnya masih bermakna ketika kedua pertanyaan di atas tidak ada jawabannya?

Adakah jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan di atas? Alkitab mengatakan bahwa kita tidak akan pernah mendapatkan jawaban yang cukup baik dan bernilai, kecuali kita mencarinya di dalam Tuhan. Zaman modern dengan filsafatnya yang mengatakan bahwa kehidupan kita sesungguhnya terbentuk dari sekadar reaksi sebab-akibat, tanpa arti dan tujuan tertentu. Sebagai konsekuensi logis dari pernyataan tersebut, kita – sebagai manusia – hanya memiliki makna hidup sejauh kehidupan itu sendiri dapat meneruskan kehidupan sebelumnya. Dengan pola demikian, apakah yang membedakan jerih payah kehidupan kita dengan jerih payah seekor hamster yang berlari di lintasan rodanya?

Semangat pragmatisme – yang sekarang sedang digandrungi oleh khalayak banyak –mencoba memberikan makna. Desakan untuk mencari makna hidup kemudian  “ditenangkan” dengan tuntutan untuk ‘bekerja sekarang'. Dunia meneriakkan, “Tidak usah memusingkan makna dan tujuan hidup, tapi hidupilah kehidupan yang ada di hadapan matamu! Just Go Ahead!” Pragmatisme bukanlah satu-satunya alternatif jawaban yang disediakan dunia bagi kekosongan makna yang terus dicari oleh manusia berdosa. Postmodernisme, sebagai jawaban alternatif, memberikan jawaban yang serupa namun tak sama. Paham ini menyatakan bahwa meaning of life untuk setiap orang itu berbeda, tergantung dari faktor-faktor yang memengaruhi terbentuknya meaning tersebut. Bagi saya mungkin makna dan tujuan hidup bergantung pada berapa banyak kekayaan yang dimiliki seseorang, sedangkan bagi kamu mungkin itu bergantung pada hal yang lain seperti kebebasan, keluarga, dan sebagainya. Jika demikian, apakah ada satu makna hidup yang dimiliki secara kolektif oleh seluruh umat manusia? Apabila memang tidak ada, bagaimana mungkin kita dapat menolong satu sama lain di dalam penentuan makna hidup – selayaknya buku-buku self help yang sedang marak dijual di toko-toko buku? Pertanyaan inilah yang sering kali membuat dunia diam membisu dan bersikap apatis terhadap pergumulan akan makna hidup. Namun kita sadar bahwa kebisuan dunia tidak dapat membungkam teriakan hati kita yang menuntut makna dari semua ini. Jadi, di manakah makna hidup kita? [JA]