Semangkuk Sup Kacang Merah

Christian Life

Semangkuk Sup Kacang Merah

13 February 2017

Kejadian 25:23-34; 27:34

Siapa yang tidak kenal sup kacang merah? Sup yang sangat nikmat kalau dimasak dengan pas. Bila kita baca kitab Perjanjian Lama, maka kita menemukan bahwa ternyata di zaman dahulu kala, ribuan tahun yang lalu, sup  kacang merah sudah ada.  Dan siapa sangka, ternyata sup kacang merah ini  ikut “terlibat” di dalam benang merah rencana keselamatan Allah bagi umat manusia.  Dikisahkan ada dua anak kembar yang bukan hanya memiliki hobi dan karakter yang berbeda, tetapi juga bentuk fisik. Esau, seluruh badannya berbulu dan merupakan seorang yang pandai berburu, seorang yang suka tinggal di padang. Tetapi Yakub adalah seorang yang tenang, yang suka tinggal di kemah. Ishak sayang kepada Esau, sebab ia suka makan daging buruan, tetapi Ribka sayang kepada Yakub. Pada suatu kali Yakub sedang memasak sesuatu (yang kemudian diketahui itu adalah sup kacang merah), lalu datanglah Esau yang sedang lelah dari padang. Dalam kondisi haus dan lapar, Esau mencium bau masakan Yakub dan mengintipnya. Hmmmm… lezat…. nyam…. Esau pun meminta sup tersebut kepada adik kembarnya, Yakub.  Yakub lalu berkata: “Juallah dahulu kepadaku hak kesulunganmu.” Tanpa berpikir panjang dengan mata yang masih terarah kepada sup yang dilihatnya lezat itu, Esau setuju memberikan hak kesulungannya. Pikirnya, “Sebentar lagi aku mati; apakah gunanya bagiku hak kesulungan itu?” Dengan licik Yakub lalu meminta Esau bersumpah untuk menggenapi janjinya tersebut. Yakub lalu memberikan roti dan masakan kacang merah itu kepada Esau; ia pun memakannya, lalu berdiri dan pergi. Perut pun kemudian menjadi kenyang, lidah terpuaskan, dahaga hilang karena semangkuk sup kacang merah. Namun, paling tidak empat jam kemudian, perut Esau pasti keroncongan lagi, mulutnya dahaga lagi, karena begitulah siklus pencernaan manusia berlangsung setiap harinya. Sup kacang merah hanya memuaskan untuk sementara saja. Tetapi Esau rela menjual hak kesulungannya yang bersifat kekal seharga kepuasan sementara itu. Lebih ironinya lagi, sup kacang merah pada masa itu hanyalah sejenis makanan sehari-hari, bukan makanan yang istimewa, bukan juga makanan langka, tetapi makanan sangat biasa. Masakan yang sederhana, hanya karena urusan lidah dan perut sesaat, Esau rela menukarkannya dengan hak kesulungannya yang sangat unik dan yang tidak ada pada orang lain.

Ketika kita membaca kisah Esau tersebut, mungkin secara otomatis kita menganggap betapa bodohnya Esau ini. Betapa bodohnya Esau yang menukarkan berkat melimpah yang akan ia terima dari hak kesulungannya dengan hanya semangkuk sup kacang merah yang kepuasannya tidak lebih dari 4 jam. Tetapi kalau dipikirkan lebih lanjut, bukankah kita juga sama seperti Esau? Ketika tawaran dunia menari-nari di depan mata kita, bernyanyi-nyanyi di kuping kita, melambai-lambai memanggil kita, kita begitu gampangnya tergoda, lalu kita mulai mencari pembenaran diri untuk menerima tawaran tersebut. “Ah… kan ini saya perlukan juga… toh saya tidak rakus mengambil semuanya.” “Hmmm…. Tidak ada salahnya saya terima tawaran itu, tidak ke gereja hari ini tidak masalah, gereja kan tiap minggu ada, jadi masih ada kesempatan minggu depan.” “Saya sibuk bulan ini kalau saya tidak mengejarnya sekarang, kapan lagi saya dapat kesempatan posisi itu. Saya ikut pelayanan tahun depan saja ya.”

Bukankah kita sering melakukan hal seperti itu? Menukarkan berkat identitas kekal kita dengan “berkat” jasmani yang hanya sementara dan kita lebih sayang membuang berkat jasmani  itu daripada berkat identitas yang kekal. Anehnya… kita selalu menganggap berkat jasmani lebih sulit kita dapatkan sedangkan identitas lebih mudah kita dapatkan dan kita bisa atur kapan dan di mana kita mau mendapatkan berkat tersebut.

Esau ketika sadar dia tidak lagi bisa mendapatkan kembali hak kesulungannya dan itu berarti berkat pun hilang daripadanya, ia meraung-meraung. Namun nasi sudah menjadi bubur, penyesalan memang selalu datang terlambat dan tidak bisa lagi menebusnya kembali.

Mari coba kita merenung sejenak, “sop kacang merah” apakah yang masih menggoda di dalam hidup kita sehingga kita lebih rela membuang identitas yang kekal dari Allah? Semoga kita tidak terlambat menyadarinya. (DS)