26 Juni 2015 dikenal sebagai hari di mana negara Amerika Serikat (AS), melalui keputusan Mahkamah Agung, telah melegalkan pernikahan sesama jenis (same-sex marriage) di setiap negara bagiannya. Bagi para pendukungnya, ini adalah suatu kemenangan historis. Tetapi orang Kristen yang masih setia kepada firman Tuhan harus menangisi keadaan zaman ini.
Sebenarnya AS bukanlah negara pertama, melainkan negara ke-21, yang melegalisasikan pernikahan sesama jenis secara keseluruhan.1 Tetapi apa yang terjadi di AS ini lebih mengikat perhatian dunia karena AS sering kali dianggap sebagai pelopor dari kekristenan, khususnya kaum injili, harapan dari dunia modern. Dua puluh tiga tahun sebelumnya, di dalam seminar di Seminari di Singapura (1992), Pdt. Dr. Stephen Tong sudah memperingatkan bahwa “Jangan heran apabila suatu hari kelak kita menemukan negara Amerika – yang mempunyai hikmat pengetahuan tinggi – akan jatuh ke dalam tangan orang-orang yang menyebut diri demokrat tetapi memberikan toleransi terhadap perdagangan narkotik, homoseksual, aborsi, dan lain-lain.”2
Tidak sedikit orang Kristen yang simpatik dan bahkan mendukung pernikahan sesama jenis ini. Ada berbagai alasan yang mereka tawarkan. Di dalam artikel ini kita akan membahas beberapa argumen yang biasanya diajukan dan bagaimana kita, sebagai orang Kristen, menanggapinya.
1. Argumen dari alam (natural argument)
Para pendukung praktik homoseksual membantah bahwa hal ini disebabkan oleh karena kelainan jiwa dan adalah suatu dosa. Bukankah di dalam dunia binatang juga ada binatang yang menunjukkan kecenderungan perilaku homoseksual? Maka dari itu, American Psychological Association (APA), sejak 1975, memutuskan untuk tidak lagi mengatribusikan gangguan kejiwaan di dalam analisis mereka terhadap kaum LGBT.3 Dengan anggapan bahwa manusia adalah satu jenis binatang, maka kecenderungan dan praktik homoseksual juga dianggap sebagai suatu hal yang alami (natural). Bagaimana kita menanggapi hal ini?
Pertama-tama, kita harus menegaskan bahwa semua fakta adalah fakta yang ditafsirkan. Maka ketika kita melihat ada binatang yang menunjukkan kecenderungan homoseksual, ini harus dimengerti sebagai suatu penafsiran manusia terhadap perilaku binatang yang tidak mutlak benar dan dapat bersalah. Kedua, kita harus menolak presuposisi bahwa manusia tidak lebih dari binatang. Memang Alkitab menyatakan kemiripan penciptaan manusia (Kej. 2:7) dan binatang (Kej. 2:19); baik manusia maupun binatang dibentuk oleh Allah dari debu/tanah. Tetapi Alkitab juga menunjukkan bagaimana manusia berbeda daripada binatang, karena hanya manusialah yang diciptakan berdasarkan gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26, 27) dan hanya manusialah yang menerima hembusan nafas hidup dari Tuhan (Kej. 2:7). Manusia inilah yang ditempatkan Allah di antara Allah dan alam – lebih rendah dari Allah dan lebih tinggi dari alam – dan memungkinkan manusia menerima mandat dari Tuhan untuk menjadi wakil Allah di dalam memerintah dan berkuasa atas seluruh ciptaan (Kej. 1:28; Mzm. 8:7-9). Sehingga kalaupun binatang melakukan hubungan seksual sesama jenis, tidak berarti bahwa manusia juga dapat melakukan hal yang sama karena sebagai gambar dan rupa Allah, manusia harus mencoba untuk serupa dengan Allah di atasnya, bukan serupa dengan binatang di bawahnya.
Terlebih lagi, kita harus dapat melihat bahwa mereka yang menganggap manusia sejenis binatang tidak benar-benar percaya atas hal ini. Kita juga melihat bahwa binatang melakukan kanibalisme, inses, dan lain sebagainya. Tapi akan sulit ditemukan satu orang di antara mereka yang akan mengatakan bahwa manusia, sebagai satu jenis binatang, dapat juga melakukan hal-hal ini. Ini membuktikan bahwa mereka pun percaya manusia bukan hanya satu jenis dari binatang dan, oleh karenanya, dituntut dengan standar moral yang lebih tinggi daripada binatang.
2. Argumen theologis (theological argument)
Para pendukung praktik homoseksual berpendapat bahwa praktik homoseksualitas hanya dilarang secara eksplisit di dalam Alkitab Perjanjian Lama: Imamat. 18:22 dan Imamat. 20:13.4 Tetapi Perjanjian Baru tidak pernah secara eksplisit melarang praktik homoseksualitas ini. Mereka berpendapat bahwa kata Yunani arsenokoitai di dalam 1 Korintus 6:9 dan 1 Timotius 1:10 telah salah diterjemahkan.5 Tetapi faktanya, kata aresenokoitai ini tidak ditemukan di dalam literatur Yunani lainnya selain di dalam tulisan Paulus ini. Maka mereka berpendapat, adalah suatu hal yang terlalu gegabah untuk menerjemahkan arsenokoitai di dalam pengertian praktik homoseksualitas.6 Tidak ada referensi di luar Perjanjian Baru yang dapat menvalidasi terjemahan ini. Terlebih lagi, mereka juga berpendapat bahwa yang Paulus kritik di dalam Roma 1:26-27 bukanlah pelaku hubungan sesama jenis secara umum, tetapi pada praktik homoseksualitas di dalam budaya Greco-Roman di mana praktik homoseksualitas dipaksakan kepada anak-anak muda di bawah umur dan budak-budak. Berbeda dengan praktik homoseksualitas di dunia modern ini, di mana dua orang dewasa sesama jenis sama-sama bersepakat untuk menjalin hubungan kasih mereka.
Dengan alasan ini – bahwa praktik homoseksualitas hanya dilarang secara ekplisit di dalam Perjanjian Lama dan tidak pernah dilarang di dalam Perjanjian Baru – maka mereka berpendapat bahwa hubungan sesama jenis ini tidaklah bertentangan dengan ajaran Kristen. Bukankah orang Kristen sudah tidak lagi tunduk kepada hukum Taurat?7 Mengapa menggunakan hukum Taurat untuk mengikat seorang Kristen?
Kita dapat menanggapi hal ini sebagai berikut. Pertama-tama, pandangan yang mengatakan bahwa Paulus bukan sedang mengkritik praktik homoseksualitas secara umum, tetapi hanya praktik di dalam budaya Greco- Roman, juga tidak memiliki dasar yang kuat. Praktik homoseksualitas antara dua orang perempuan adalah suatu hal yang tidak lumrah terjadi di budaya Greco-Roman. Tapi yang menarik adalah Paulus juga menyebutkan hal ini di dalam Roma 1:26 (“Karena itu Allah menyerahkan mereka kepada hawa nafsu yang memalukan, sebab istri-istri mereka menggantikan persetubuhan yang wajar dengan yang tak wajar”). Hal ini justru membuktikan bahwa Paulus sedang tidak berbicara mengenai praktik homoseksualitas di dalam budaya Greco-Roman, tetapi praktik homoseksualitas secara umum.
Kedua, memang benar kata arsenokoitai adalah suatu kata yang diciptakan oleh Paulus dan sebenarnya terdiri dari dua kata: arsenos, yang berarti laki-laki, dan koitēs, yang berarti ranjang/ranjang pelaminan. Di sini, jelas Paulus sedang menggunakan terjemahan Septuaginta (LXX) atas Imamat 18:22 dan 20:13.8 Maka Paulus yang menggunakan Perjanjian Lama justru membuktikan bahwa hukum moral Perjanjian Lama masih berlangsung bagi orang Kristen. Lagipula, Tuhan Yesus pun mengatakan bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan Hukum Taurat tetapi untuk menggenapinya.9 Tradisi Kristen mengerti bahwa tuntutan moral Hukum Taurat masih terus berlangsung sedangkan upacara keagamaan (misalnya sunat, korban, peraturan mengenai makanan) yang akhirnya digenapkan oleh apa yang Kristus sudah lakukan di atas kayu salib. Maka di sini dapat disimpulkan sekali lagi bahwa terjemahan 1 Korintus 6:9 dan 1 Timotius 1:10 dapat dipertahankan dan, lebih dari itu, ada suatu kesinambungan hukum moral di dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.
Sanggahan-sanggahan di atas tidak berarti kita mengesampingkan fakta bahwa memang ada orang-orang yang bergumul dengan dosa homoseksualitas. Kejatuhan Adam telah menjadikan semua aspek kehidupan manusia dicemari oleh dosa pula, suatu ajaran Reformed yang kita kenal dengan doktrin “Kerusakan Total” (Total Depravity). Sebagian dari mereka mungkin menganggap bahwa kecenderungan homoseksualitas adalah suatu bawaan sejak lahir, sehingga mereka tidak mungkin dapat berubah. Kalaupun ini adalah benar bahwa homoseksualitas adalah masalah genetik dan bukan masalah pilihan hidup – sesuatu yang sebenarnya masih belum dapat dikonfirmasikan oleh ilmu pengetahuan – ini tidak berarti otomatis orang tersebut harus menaklukkan dirinya kepada kondisi yang disebabkan oleh kejatuhan dosa Adam ini. Setelah mengecam hubungan homoseksualitas, bahwa mereka yang melakukan hal ini tidak akan mendapatkan bagian di dalam Kerajaan Allah (1Kor. 6:9-10), Paulus menulis kepada mereka bahwa “beberapa orang di antara kamu demikianlah dahulu. Tetapi kamu telah memberi dirimu disucikan, kamu telah dikuduskan, kamu telah dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus dan dalam Roh Allah kita.” (1Kor. 6:11). Bahkan ada beberapa dari jemaat di gereja Paulus ini yang dahulu mempraktikkan homoseksualitas. Tetapi ketika mereka memberikan hidup mereka kepada Tuhan, mereka memberikan dirinya untuk disucikan, dikuduskan, dan dibenarkan dalam nama Tuhan Yesus Kristus. Kasih Kristus membawa mereka mampu menyalibkan kedagingan mereka dan membawa mereka dekat kepada-Nya sehingga mereka, yang dahulu hidup di dalam dosa homoseksualitas, sekarang dipanggil sebagai umat kudus Allah.
Ini adalah ajakan bagi mereka yang saat ini mungkin sedang bergumul dengan dosa ini. Kuasa penebusan Allah lebih besar dari kuasa apa pun yang mencoba untuk mengekang saudara di dalam dosa ini. Tapi pengharapan atas pelepasan Tuhan ini hanya dapat diterima ketika kita menyadari dosadosa kita. Selama kita mencoba membenarkan dosa-dosa yang kita lakukan, maka pengampunan Allah dan kuasa perubahan tersebut jauh dari kita. Justru Allah akan menyerahkan kita kepada keinginan kita untuk terus berdosa. Ini juga adalah suatu ajakan bagi kita semua untuk tidak hanya menjatuhkan penghakiman bagi mereka yang mungkin masih bergumul di dalam dosa ini, tetapi terus mendoakan mereka dengan suatu pengharapan bahwa mereka dapat menyerahkan hidup mereka ke dalam tangan Tuhan yang menciptakan dan menebus mereka.
Endnotes:
1. http://time.com/3937766/us-supreme-courtcountries-same-sex-gay-marriage-legal/
(diakses 5 Agustus, 2015). Negara yang hanya melegalkan pernikahan sesama jenis secara sebagian saja, misalnya Meksiko, tidak dihitung di sini.
2. Disadur dari Stephen Tong, “Dosa dan Kebudayaan,” di Hati Yang Terbakar, oleh Stephen Tong, ed. The Boen Giok, Irwan Tjulianto, dan Franklin Noya (Surabaya: Momentum, 2007), 2:290. Peringatan ini penting, mengingat bahwa pada saat itu belum ada satu negara pun yang menyetujui pernikahan sesama jenis dan gerakan mendukung pernikahan sesama jenis ini belum terlalu besar.
3. http://www.apa.org/topics/lgbt/orientation.pdf
(diakses 5 Agustus, 2015).
4. Im. 18:22, “Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian”. (LAI). Im. 20:13, “Bila seorang laki-laki tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, jadi keduanya melakukan kekejian, pastilah mereka dihukum mati dan darah mereka tertimpa kepada mereka sendiri.”
5. LAI menerjemahkan arsenokoitai di dalam 1Kor. 6:9 dan 1Tim. 1:10 sebagai “pemburit” sedangkan ESV menerjemahkan malakoi arsenokoitai sebagai “practice homosexuality.”
6. Misalnya, untuk 1 Kor. 6:9 beberapa terjemahan Inggris tidak menggunakan secara eksplisit kata “homoseksual”: “Do you not know that the unrighteous will not inherit the kingdom of God? Do not be deceived; neither the immoral, nor idolaters, nor adulterers, nor sexual perverts” (Revised Standard Version/RSV) atau “Or know ye not that the unrighteous shall not inherit the kingdom of God? Be not deceived: neither fornicators, nor idolaters, nor adulterers, nor effeminate, nor abusers of themselves with men” (American Standard Version/ASB).
7. Mereka sering kali menggunakan ayat-ayat seperti Gal. 3:23-25 (“Sebelum iman itu datang kita berada di bawah pengawalan hukum Taurat, dan dikurung sampai iman itu telah dinyatakan. Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman. Sekarang iman itu telah datang, karena itu kita tidak berada lagi di bawah pengawasan penuntun.”) dan Roma 7:4 (“Sebab itu, saudara-saudaraku, kamu juga telah mati bagi hukum Taurat oleh tubuh Kristus, supaya kamu menjadi milik orang lain, yaitu milik Dia, yang telah dibangkitkan dari antara orang mati, agar kita berbuah bagi Allah.”)
8. Misalnya, Im. 18:22 (LXX): “καὶ μετὰ ἄρσενος οὐκοιμηθήσῃ κοίτην γυναικός βδέλυγμα γάρ ἐστιν”
9. Mat. 5:17, “Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”

