Di dalam zaman sekarang ini, kita tentu tidak asing lagi dengan kata “move on”. Mungkin saja kita sering menggunakan kata tersebut. Sebagai contoh kecil, ketika salah seorang dari teman kita yang sedang berlarut-larut di dalam kesedihannya setelah ditolak oleh pujaan hatinya, kita akan mengatakan kepadanya, “Move on, bro.” Atau beberapa contoh yang lain dari penggunaan istilah ini adalah, “Kapan kamu move on ke perusahaan lain?” Dan, “Tahun ini saya harus move on dari keterpurukan saya.”
Di dalam penggunaan istilah “move on”, kita mengharapkan adanya perubahan dari suatu keadaan yang kurang baik menuju kepada keadaan yang lebih baik. Baik itu berupa kehidupan, pasangan, penghasilan, dan sebagainya. Tetapi bagaimana dengan kehidupan kerohanian kita sebagai orang Kristen. Bagian ini sering kali terlupakan di dalam peta perkembangan kita. Kerohanian boleh stagnan, asalkan bagian lain di dalam hidup kita yang telah disebutkan di atas itu berhasil move on.
Hal ini tentu bukanlah suatu hal yang bisa kita anggap sepele. Maka, sebuah pertanyaan yang harus kita jawab adalah: mengapa hal tersebut bisa terjadi? Ada beberapa alasan yang bisa kita kemukakan. Pertama, kita sering kali menganggap kehidupan kerohanian tidak relevan atau tidak terlalu bersangkut paut dengan kehidupan yang sedang kita jalani. Sebagian dari kita mungkin saja bertanya, “Apa hubungannya kehidupan kerohanian dengan keberhasilan di dalam hal berpacaran, bekerja, keluarga, kuliah, dan hal-hal urgent lainnya? Bukankah hal itu dicapai hanya melalui kerja keras serta usaha sendiri, dan tidak ada campur tangan Tuhan di dalamnya?” Sehingga tidak masalah jika kerohanian kita tidak bertumbuh, asalkan bagian kehidupan kita yang lain boleh bertumbuh, berkembang, atau bahasa gaul kita, “move on”. Dengan kata lain, kita memisahkan antara kehidupan rohani dan kehidupan sehari-hari.
Kedua, adanya anggapan bahwa kita cukup hanya beriman kepada Kristus dan mengaku segala dosa-dosa yang telah kita perbuat untuk melegitimasi kekristenan kita. Kehidupan kerohanian bertumbuh atau tidak, itu tidak menjadi masalah. Mengenal Allah dengan baik atau tidak juga tidak menjadi masalah. Asalkan kehidupan yang kita jalani saat ini boleh berjalan dengan baik, lancar, dan pada akhirnya boleh masuk surga, itu sudah cukup. Meminimalkan hal-hal yang bersifat kerohanian dan memaksimalkan hal-hal yang bersifat jasmani, ini merupakan cara pandang kita akan keutuhan hidup.
Bagaimana kita sebagai orang Kristen meresponi hal ini? Apakah kita juga sama, hanya berdiam diri saja dan melihat kehidupan kerohanian kita yang tidak pernah bertumbuh? Atau kita justru belajar untuk move on dan mengejar ketertinggalan kita di dalam kehidupan kerohanian yang mungkin selama ini tidak pernah bertumbuh atau berjalan di tempat? Kiranya kita boleh move on dari kemalasan dan ketidakacuhan kita akan hal-hal rohani, sehingga pada akhirnya kerohanian kita boleh semakin hari semakin bertumbuh dan kehidupan kita boleh semakin disempurnakan dari waktu ke waktu di dalam pengenalan akan Tuhan. [S]

