Dalam artikel Tanpa Wahyu, Tidak Tahu, kita membaca bahwa pengetahuan dan pengenalan kita tentang Allah sepenuhnya bergantung pada kerelaan Allah untuk menyatakan diri-Nya dan inilah yang disebut wahyu. Untuk melihat hal ini dengan lebih jelas, mari kita mencoba membandingkan hidup kita dengan Daud.
Baik dahulu, zaman Daud, dan sekarang langit dan cakrawala tetap sama. Namun, kita mengetahui bahwa Daud memiliki respons yang berbeda. Ketika ia melihat langit dan cakrawala, Daud berkata dalam Mazmur 19:1-2, “…Langit menceritakan kemuliaan Allah, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan-Nya, hari meneruskan berita itu kepada hari, dan malam menyampaikan pengetahuan itu kepada malam.”
Hanya dengan melihat langit, Daud mengetahui hari saling meneruskan berita kemuliaan Allah kepada hari berikutnya, dan cakrawala memberitakan pekerjaan tangan Allah yang berkuasa dalam menopang dunia berdosa ini. Tidak ada alasan Allah untuk menopang dunia yang berdosa, tetapi lewat cakrawala yang terbentang, Daud sadar bahwa cakrawala sedang menceritakan pekerjaan tangan Allah yang baik, berkuasa, dan tidak pernah berubah meskipun manusia berdosa.
Betapa berbeda keadaan kita dengan Daud. Kita pun menatap langit yang sama, menyaksikan hari berganti hari, namun tidak melihat seperti yang dilihatnya. Setiap pagi yang datang, hati kita hanya bergumam, “Ini hari yang baru. Aku harus mengerjakan A... B... C...” Hidup dijalani dalam kebiasaan yang dingin dan rutinitas yang kosong. Kita menjadi orang Kristen yang tumpul secara rohani—mata jasmani mampu melihat ciptaan, tetapi mata hati rohani tertutup dan kita tidak mampu mengenali kemuliaan Allah, Sang Pencipta dan Penopang dunia. Langit? Sudah biasa. Matahari? Memang seharusnya terbit. Hari berganti? Itu hal yang lumrah. Inilah respons kita.
Namun dari kenyataan ini seharusnya kita gentar dan bertanya: Mengapa, ketika kita memandang langit yang sama dengan Daud, kita tidak menangkap makna mendalam yang sama di dalamnya? Jawabannya bukan karena langit kehilangan kemuliaan Allah, melainkan karena hati kita yang telah mati secara rohani akibat dosa. Allah, dalam kekudusan-Nya, tidak dengan sembarangan membagikan makna dan kehendak-Nya yang kudus kepada manusia yang hidup dalam pemberontakan terhadap-Nya. Dosa telah membutakan hati kita, mematikan keinginan dan usaha, untuk mencari isi hati Allah ketika menatap langit dan cakrawala setiap hari. Ini menjadi fakta keberdosaan yang paling nyata dalam hidup kita. Kita mungkin melihat, tetapi kita tidak pernah mengenal Allah. Di sinilah letak kemalangan kita. Dosa telah menggelapkan seluruhnya di mata kita dan melumpuhkan kita untuk mampu menangkap kehadiran dan kemuliaan Allah yang dinyatakan melalui alam semesta. Alam semesta yang seharusnya menjadi tempat yang jelas bagi manusia mengenal Allah, menjadi diabaikan dan terlewat begitu saja. Hanya oleh kerelaan Allah semata, ketika Dia berkenan membarui hati dan menyingkapkan mata rohani, barulah manusia dapat melihat langit dan berseru sama seperti Daud. Kita melihat langit setiap hari, tetapi kita tidak pernah mengenal apa pun tentang diri Allah dari langit. Maka, dalam kesadaran ini, dengan gentar kita memohon belas kasihan Allah membarui dan menyingkapkan mata rohani kita sehingga setiap hari kita dimampukan mengenal Dia melalui alam semesta yang ada. (DB)

