Di Nepal terdapat sebuah tradisi yang sudah dilaksanakan sejak sepuluh abad yang lalu masih berlangsung, suatu tradisi pemilihan para gadis prapubertas untuk dimuliakan sebagai dewi yang hidup, yang disebut sebagai “Kumari”. Bagi penganut Agama Budha, Kumari dianggap sebagai perwujudan Dewi Vajradevi; sedangkan bagi penganut Agama Hindu, Kumari merupakan perwujudan dari Dewi Taleju atau Durga. Anak-anak perempuan dari keluarga tertentu akan diseleksi sejak dini untuk menduduki posisi sebagai kumari berdasarkan beberapa persyaratan tertentu, seperti rasi bintang pada hari kelahirannya – terutama apabila terdapat tanda burung merak di langit.
Kumari merupakan simbol dari dewi yang hidup. Kepercayaan ini mengakui bahwa roh sang dewi merasuki anak perempuan setelah proses “penobatannya”, dan selama “masa bakti”-nya sebagai Kumari, anak perempuan tersebut akan dipuja selayaknya seorang dewi. Keluarga dari anak perempuan tersebut harus menyiapkan berbagai hal untuk kebutuhan seorang Kumari; mulai dari pakaian, tempat pemujaan, ritual-ritual tertentu, dan serangkaian larangan dan perintah yang harus selalu ditaati. Sebagai contoh kecil, seorang Kumari dilarang keluar rumah kecuali untuk menghadiri festival, dan itupun harus dengan digendong oleh keluarganya; hal ini dikarenakan kepercayaan setempat yang menyatakan bahwa seorang Kumari tidak diizinkan untuk menyentuh tanah. Larangan-larangan yang lain, seperti jenis makanan yang diizinkan dan warna pakaian yang harus dipakai oleh seorang Kumari juga adalah sederet peraturan yang mewarnai kehidupan dari keluarga yang anak perempuannya dipilih sebagai “inang” dari dewi kepercayaan mereka.
Setiap harinya banyak umat yang akan datang untuk menyembah Kumari, berdoa, memohon berkat, atau bahkan hanya untuk sekadar berziarah. Umat-umat berdatangan untuk melihat dan memuja dewi yang hidup, yang terlihat melalui raga seorang anak perempuan kecil.
Kisah yang menarik ini saya baca di dalam majalah National Geographic edisi Juni 2015. Saat saya membaca kisah ini, saya berpikir bahwa begitu banyak kisah dari beragam kepercayaan yang menggambarkan dewa-dewi datang ke dunia, memberikan berkat, dan menjadi sumber hidup bagi orang-orang yang memercayainya. Ada suatu harapan tentang sosok ilahi yang hidup dan mau datang ke dunia ini dalam wujud manusia, serta memberikan berkatnya melalui tradisi yang terus dipelihara sejak berabad-abad yang lalu.
Orang-orang yang hidup di dalam Zaman Postmodern sekarang ini pun juga secara sadar-tidak sadar menyembah sesuatu, walaupun itu bukan perwujudan fisik dari seorang dewa ataupun dewi; layaknya kepercayaan tradisional Nepal – Kumari. Kita, orang-orang yang hidup di zaman ini, cenderung menyembah penjelmaan dewa atau dewi yang sesungguhnya adalah keegoisan diri kita sendiri. Kita cenderung mengangkat diri kita sendiri sebagai Allah – menjadi penentu utama dalam hidup kita. Manusia cenderung semakin otonom dan semakin tidak mau Tuhan, karena dirinya-lah yang menjadi tuhan di dalam hidupnya. Hal ini dapat kita lihat bahkan di dalam komunitas orang-orang yang beragama. Berapa banyak umat beragama yang justru mau menjadi “tuhan” dan memperalat Tuhan untuk memenuhi keinginannya, dan sekadar menyuruh-Nya untuk memberkatinya?
Kekristenan justru menunjukkan bahwa Tuhan yang sejati, yaitu Yesus Kristus, benar-benar turun ke dalam dunia dan menjelma di dalam wujud manusia yang hidup, dan berjalan bersama ciptaan-Nya di dalam dunia ini. Firman yang hidup telah menjadi daging untuk mati menebus manusia yang berdosa dan memberikan berkat anugerah keselamatan kepada setiap orang yang percaya kepada-Nya. Yesus Kristus datang ke dalam dunia, Ia tidak meninggikan diri-Nya dan mencari pengakuan dari dunia, melainkan menundukkan diri-Nya di bawah kehendak Bapa – bahkan sampai taat mati di atas kayu salib. Begitu ironis ketika kita melihat kondisi sebaliknya, di mana manusia yang hina dan penuh cacat cela justru semakin ingin meninggikan dirinya. Inilah ironi dari keberdosaan manusia dan kesucian Allah.
Bagaimana dengan kita? Apa yang menjadi respons kita saat kita mengenal akan Tuhan kita yang dengan inisiatif-Nya datang ke dalam dunia, datang bukan hanya sekadar untuk menuntut, namun terlebih dahulu mati bagi ciptaan-Nya? Melalui kisah Kumari, kita dapat melihat bahwa penganut kepercayaan Kumari dengan susah payah mengupayakan berlangsungnya berbagai ritual, demi “Sang Dewi” boleh tinggal bersama dengan mereka. Sementara bagi kita, Umat Kristen, sejarah mencatat dengan jelas bahwa Dia yang kita nantikan sudah datang ke dunia untuk menyatakan kasih dan keadilan-Nya.
Sadarkah kita akan hal ini? Ketika kepercayaan atau tradisi lain begitu merindukan dan rela melakukan banyak hal bagi “Jelmaan Sang Dewi”, apakah kita benar-benar pernah merindukan dan rela melakukan kehendak Tuhan kita, Yesus Kristus – yang adalah Firman yang telah hidup, mati, dan bangkit kembali di dalam dunia ini demi menebus hidup kita? Mari kita menjalankan apa yang menjadi kehendak dari Tuhan kita, The True Living God. [P]

