Pada tahun 1839, tentara Inggris terlibat dalam peperangan dengan Afganistan. Di antara mereka, terdapat seorang pemuda yang bernama Henry Havelock, seorang kristen yang berbakti dan penuh dengan keberanian. Pemuda ini dipromosikan untuk bergabung dalam satu pasukan khusus yang disebut “The Army of Indus” di bawah Jendral Sir John Keane dalam satu misi penaklukan, yaitu sebuah kubu pertahanan yang dikenal sebagai Ghuznee. Salah seorang penulis biografi Havelock mengatakan bahwa kekuatan Ghuznee adalah suatu kebanggaan bagi Afganistan.
Ghuznee dirancang dengan pertahanan sedemikian rupa oleh Dost Mahomed (pemegang takhta Kabul, Afganistan) sehingga tidak pernah terbayangkan jika kubu pertahanan ini akan jatuh. Pasukan Inggris bergerak mencapai Ghuznee dengan berbagai macam rintangan yang disebabkan oleh medan maupun iklim, termasuk habisnya perbekalan makanan dalam perjalanan menuju kubu pertahanan tersebut. Setibanya di kubu pertahanan, mereka menemukan bahwa kabar yang mereka terima dari badan inteligensi mereka sangatlah berbeda dari kondisi dalam kubu pertahanan tersebut. Tempat yang seharusnya terisi dengan prajurit-prajurit yang datang untuk beristirahat dari medan perang ternyata didiami oleh para prajurit yang jauh dari pikiran untuk beristirahat. Di tempat itu, terkumpul para prajurit musuh dengan kemampuan perang yang tidak dapat dipandang sebelah mata. Havelock merangkum kondisi kubu pertahanan tersebut dengan kalimat berikut:
Ghuznee yang ada di depan, yang dahulunya pernah kita intai, ternyata sangatlah jauh melampaui apa yang kita bayangkan,….; dan sekarang kita melihat bahwa di depan kita terdapat satu misi yang layak untuk usaha terbaik kita. (Owen, 74-75)
Respons Havelock merupakan reaksi dari seorang yang memiliki keberanian dan keteguhan hati. Secara lahiriah, mayoritas kita adalah para pengecut. Secara budaya, kita terus menerus dilatih untuk menyerah pada setiap rintangan, untuk menyerah terhadap keadaan, untuk mencari pilihan yang mudah, dan untuk mengelak apa pun yang melawan kita. Terlalu sering, gereja Kristus dilumpuhkan hanya dengan rintangan lahiriah maupun budaya dan mencintai kemudahan. Jika kita melihat rintangan yang besar di depan, reaksi pertama kita adalah segera menemukan sesuatu yang lebih mudah, menemukan jalan keluar atau jalan berputar, menemukan lingkungan pelayanan yang lebih mudah, kurang berbahaya, dan kurang tuntutan.
Berbeda dengan respons Havelock yang mengatakan: “kita melihat bahwa di depan kita terdapat suatu misi yang layak untuk usaha terbaik kita.” Suatu pelajaran bagi mereka yang bukan tercatat sebagai pasukan dari dunia ini, melainkan pasukan dari Sang Anak Domba!
Kekristenan menghadapi kubu pertahanan yang lebih hebat dari Ghuznee. Kita dipanggil untuk meruntuhkan benteng-benteng, pendapat-pendapat, dan segala sesuatu yang meninggikan dirinya sendiri lalu menentang pengenalan akan Allah. Kita dipanggil untuk “membawa setiap pemikiran kembali dalam ketaatan kepada Kristus” (2Kor. 10:4-5). Membangun kubu pertahanan alkitabiah dari segi pemikiran dan hati manusia adalah tujuan dari prajurit Injil. Orang percaya, di dalam nama Kristus Yesus, menyerang ‘gerbang neraka’ (Mat. 16:18) dengan maksud untuk menyelamatkan yang tersesat dan memperluas Kerajaan Allah. Betapa kuat, tinggi, dan berat kubu-kubu pertahanan ‘gerbang neraka’ tersebut. Betapa kokoh pertahanannya, dan rintangan-rintangan tersebut terlihat tidak mungkin untuk diatasi! Orang-orang yang harus kita hadapi, pelayanan yang harus kita nyatakan, tugas-tugas yang harus kita renungkan terhadap setiap perlawanan akan kebenaran dan kekejaman, semuanya ini adalah tantangan yang harus kita hadapi sebagai orang Kristen. Bukan musuh yang biasa-biasa tetapi musuh yang berat untuk dihadapi.
Kekristenan menghadapi musuh yang jauh lebih besar dibandingkan pasukan Ghuznee. “Kita tidak berjuang melawan darah dan daging, tapi melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara” (Ef. 6:12). Musuh utama kita bukanlah manusia, melainkan pasukan roh kelaliman yang berdiri melawan Kristus dan umat-Nya. Musuh terbesar kita bukan manusia, melainkan iblis yang penuh dengan kemarahan, kekerasan, kedengkian, dan penipuan, dan para pengikutnya. Musuh-musuh ini ada di dalam hati kita yang terus merayu kita untuk berdosa maupun di luar diri kita yang terus menggoda kita dengan kenikmatan yang mematikan. Kita dipanggil untuk bertahan melawan dan menghancurkan mereka, walaupun kita tahu bahwa mereka tidak akan memberikan pengampuan dalam peperangan.
Kekristenan memiliki Kapten yang lebih besar dibandingkan Sir John Keane. Kapten keselamatan kita adalah Imanuel, Putra mahkota kerajaan sorga, yaitu Yesus Kristus. Keberanian dan keteguhan hati-Nya tidak dapat diragukan. Kebijaksanaan-Nya akan strategi dan taktik-Nya dapat dipercaya. Tidak satupun dari prajurit-Nya yang berperang seorang diri, karena Dia bersama dengan mereka di setiap penyerangan yang begitu melelahkan dan terkadang membuat prajurit putus asa dalam bertahan. Kehormatan-Nya dan kemenangan-Nya telah tertulis dengan jelas dan Dia pasti akan menundukkan seluruh musuh-Nya.
Kekristenan memiliki alasan yang lebih besar dibandingkan dengan mempertahankan kerajaan dunia atau “pertandingan yang hebat”. Raja kita adalah Kristus, dan kerajaan-Nya-lah yang kita perjuangkan. Kerajaan-Nya bukan di dalam dunia ini. Jika kerajaanNya ada di dunia ini, umat-Nya akan berperang seperti pelayan-pelayan kerajaan dunia, namun kerajaanNya bukanlah di sini (Yoh. 18:26). Kemuliaan-Nya yang diperjuangkan, bukan kita. Demi nama Yesus kita bertempur, bagi kebaikan yang sejati kita bekerja keras, untuk membawa orang-orang yang terhilang ke dalam kerajaan yang tidak dapat digoyahkan. Meskipun untuk sementara waktu, kita berduka oleh banyaknya pencobaan, “kemurnian imanmu lebih berharga dibandingkan emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api, sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diriNya” (1Ptr. 11:6-8).
Kekristenan memiliki senjata yang lebih hebat dibandingkan dengan meriam: “karena senjata kami dalam perjuangan bukanlah senjata duniawi, melainkan senjata yang diperlengkapi dengan kuasa Allah, yang sanggup untuk meruntuhkan benteng-benteng. Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus, dan kami siap sedia juga untuk menghukum setiap kedurhakaan, bila ketaatan kamu telah menjadi sempurna” (2Kor. 10:4- 6). Kita tidak menggunakan senjata dunia untuk mencapai akhir, tetapi senjata sorgawi untuk mencapai tujuan Kristus. “Sebab itu ambillah seluruh perlengkapan senjata Allah, supaya kamu dapat mengadakan perlawanan pada hari yang jahat itu dan tetap berdiri, sesudah kamu menyelesaikan segala sesuatu. Jadi berdirilah tegap, berikat pinggangkan kebenaran dan berbaju zirahkan keadilan, kakimu berkasutkan kerelaan untuk memberitakan Injil damai sejahtera; dalam segala keadaan pergunakanlah perisai iman, sebab dengan perisai itu kamu akan dapat memadamkan semua panah api dari si jahat, dan terimalah ketopong keselamatan dan pedang Roh, yaitu firman Allah, dalam segala doa dan permohonan. Berdoalah setiap waktu di dalam Roh dan berjaga-jagalah di dalam doamu itu dengan permohonan yang tak putus-putusnya untuk segala orang Kudus, juga untuk aku, supaya kepadaku, jika aku membuka mulutku, dikaruniakan perkataan yang benar, agar dengan keberanian aku memberitakan rahasia Injil, yang kulayani sebagai utusan yang dipenjarakan. Berdoalah supaya dengan keberanian aku menyatakannya, sebagaimana seharusnya aku berbicara” (Ef. 6:13-20).
Dari seluruh hal yang perlu dipertimbangkan, Kekristenan menghadapi peperangan yang jauh lebih besar dibandingkan “Army of Indus”. Pertimbangkan kubu-kubu dan musuh yang melawanmu. Akan ada hari-hari yang sulit, masa-masa yang berat, dan peristiwa-peristiwa yang menyakitkan. Akan ada orang-orang yang tidak menyenangkan untuk dikasihi, orang-orang yang tidak tahu berterima kasih untuk kita layani, orang-orang yang akan melawan untuk kita terima sebagai saudara. Akan ada orang-orang yang sulit untuk dihargai dan dilayani, tantangan terhadap gereja, lahan baru untuk dijelajahi dan ditaklukkan, lebih banyak orang picik yang harus ditangani, lebih banyak kebutuhan untuk dipenuhi, dan dalam banyaknya musuh-musuh yang besar itu, akan ada yang dengan berani datang menghadap kita untuk menyerang, ataupun yang bersembunyi untuk menembak kita dari pinggiran.
Bagaimana kita akan berespons? Bagaimana engkau akan berespons? Pertimbangkan kapten mu dan alasanmu. Di depan kita ada “satu misi yang layak untuk usaha terbaik kita”. Kita harus berjuang dengan sekuat tenaga karenanya, bukan menjadi ciut dalam ketakutan dan menyerah. Hari di mana kita dipanggil, bukanlah untuk menjadi pengecut dan tunduk, tapi untuk keberanian dan keyakinan. “Jika Tuhan bersama dengan kita, siapakah yang dapat melawan kita?” Tantangan untuk masa kita akan segera datang; mereka akan datang dalam satu misi yang layak untuk usaha terbaik kita, dan kita harus mengambil senjata kekekalan dan pergi untuk menaklukkan di dalam nama Kristus. Kehormatan saat ini diberikan kepada para pahlawan dalam peperangan duniawi. Medali dan kehormatan kita bukanlah medali dan kehormatan dunia, tapi mahkota kebenaran yang akan diberikan oleh Allah, Hakim yang benar, kepada setiap orang yang mengasihi dan menantikan kehadiran-Nya (2Tim. 4:8). Sekarang adalah saatnya untuk bertanding dalam pertandingan iman yang benar (1Tim. 6:12); ketika Kristus kembali dalam kemuliaan, kemudian kita akan melihat dan menikmati hari penggenapan kemenangan-Nya dan seluruh rampasan-Nya. Berbagiankah Saudara dalam pertempuran dan pertandingan ini?
Disadur dari Sekilas KIN Remaja 2015 Edisi 1

