John Gibson Paton (24 Mei 1824 – 28 Januari 1907) adalah seorang Skotlandia yang menjadi misionaris di New Hebrides (sekarang negara Vanuatu). Sejak masa mudanya, Paton memiliki beban untuk menjadi misionaris. Untuk mempersiapkan dirinya dipakai Tuhan kelak, Paton mempelajari theologi dan ilmu kedokteran.
Perjalanan Paton sebagai misionaris memiliki begitu banyak tantangan. Pada masa itu, daerah New Hebrides adalah daerah yang dihuni oleh kanibal. Usaha demi usaha pengabaran Injil di daerah ini gagal satu demi satu. Pada tahun 1839, dua orang Inggris datang sebagai misionaris, segera mereka berdua dimakan oleh penduduk setempat, hanya dalam kurun waktu beberapa menit setelah mereka tiba.
Ketika Paton menyatakan bebannya sebagai misionaris di New Hebrides, seorang tua-tua di gerejanya berteriak, “Kanibal! Engkau akan dimakan kanibal!” Dengan tenang dan bijaksana dari Tuhan, Paton menjawab, “Ketika kita mati, kita akan dimakan cacing tanah. Jika saya boleh hidup dan mati melayani dan meninggikan Tuhan Yesus, bagiku tidak ada bedanya antara mati dimakan kanibal dan dimakan cacing tanah.” Bagi Paton, melayani dan memuliakan Kristus adalah suatu hal yang utama, lebih utama dari segala yang ia miliki, termasuk nyawanya.
“I confess to you, that if I can but live and die serving and honoring the Lord Jesus, it will make no difference to me whether I am eaten by Cannibals or by worms.”
Sebulan setelah ditahbiskan menjadi pendeta di Reformed Presbyterian Church, Paton bersama dengan istrinya, Mary, berangkat dari Skotlandia ke pulau Tanna di New Hebrides pada tahun 1858. Tahun pertama pelayanannya merupakan suatu masa yang buruk; Mary meninggal karena demam tropis dan Peter, anaknya yang baru berumur 36 hari, juga meninggal. Selain itu, penduduk setempat terus-menerus ingin membunuhnya sehingga dia harus meninggalkan pulau Tanna pada tahun 1862.
Bukannya kapok, Paton malah terus membagikan beban pelayanannya itu kepada rekan-rekannya di Skotlandia. Dia pun merekrut beberapa misionaris lainnya serta mengumpulkan uang misi. Dia juga menikahi Margaret pada tahun 1864 sebelum mereka pergi ke New Hebrides pada tahun 1866. Kali ini, Paton tidak pergi ke pulau Tanna, namun ke pulau Aniwa, sekitar 40 km arah Timur Laut.
Mereka melihat bahwa penduduk Aniwa sangat mirip dengan penduduk yang ada di Tanna. Mereka memiliki takhayul yang sama, kekejaman kanibalisme yang sama, mentalitas barbar yang sama, dan kurangnya rasa kemanusiaan yang sama. Bahkan Paton mengaku kalau dia sendiri sempat ragu apakah penduduk pulau Aniwa memungkinkan untuk menerima keselamatan di dalam Yesus.
Paton dengan susah payah mempelajari bahasa setempat dan mencoba untuk membuat sistem penulisan bahasa. Selain itu, Paton yang berlatar belakang kedokteran juga melayani orang sakit di pulau ini. Di saat yang sama, Margaret mengajarkan para gadis Aniwa bagaimana membaca, bernyanyi, dan menjahit. Mereka juga melatih penduduk setempat untuk menjadi guru yang melanjutkan pengabaran Injil ke seluruh pulau.
Setelah 15 tahun dengan tekun dan takut akan Tuhan berjuang melawan segala kekurangan, segala mara bahaya, kekejaman penduduk setempat, dan dari segala penyakit tropis, mereka akhirnya boleh menyaksikan seluruh penduduk pulau Aniwa datang kepada Kristus. Pada tahun 1897, Alkitab Perjanjian Baru berhasil diterjemahkan ke bahasa setempat yang dengan susah payah dikembangkan oleh Paton. Sampai akhir hidupnya, Paton masih menerjemahkan lagu-lagu pujian dan katekisasi ke bahasa tersebut.
Apa yang boleh mendorong Paton untuk terus bekerja bagi Tuhan? Apa yang menjadi sumber keberanian dia dalam melayani suku yang ingin memakannya? Mengapa dia rela? Bahkan setelah kehilangan keluarganya yang pertama kali, ia pergi lagi dan merisikokan keluarganya untuk yang kedua kali? Kiranya kutipan yang ditulis Paton di pulau Aniwa boleh mendorong kita untuk memiliki relasi yang sama dengan Juru Selamat kita yang agung, Yesus Kristus.
“I climbed into the tree and was left there alone in the bush. The hours I spent there live all before me as if it were but of yesterday. I heard the frequent discharging of muskets, and the yells of the Savages. Yet I sat there among the branches, as safe as in the arms of Jesus. Never, in all my sorrows, did my Lord draw nearer to me, and speak more soothingly in my soul, than when the moonlight flickered among those chestnut leaves, and the night air played on my throbbing brow, as I told all my heart to Jesus. Alone, yet not alone! If it be to glorify my God, I will not grudge to spend many nights alone in such a tree, to feel again my Savior’s spiritual presence, to enjoy His consoling fellowship. If thus thrown back upon your own soul, alone, all alone, in the midnight, in the bush, in the very embrace of death itself, have you a Friend that will not fail you then?” (EYST)
Referensi:
- Paton, J.G. (published in 1965, originally 1891). John G. Paton - The Autobiography of the Pioneer Missionary to the New Hebrides (Vanuatu). Banner of Truth Trust. Print.
- Piper, J. (2012). John G. Paton – You will be Eaten by Cannibals!. Desiring God Foundation. Print.

