Di dalam bagian sebelumnya kita melihat bagaimana dunia, termasuk kita di dalamnya, dapat melihat kebutuhan makna dan tujuan dari hidup ini, namun di saat yang sama tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan akan kebutuhan tersebut. Untuk dapat menjawab hal ini, kita perlu menelaah komponen-komponen dari sebuah makna.
Dalam tradisi pemikiran Cornelius Van Til, pembahasan mengenai etika hidup manusia akan memimpin kita pada tiga komponen. Etika manusia memiliki 'motive', yaitu apa yang mendorong manusia mengerjakan sesuatu. Etika manusia memiliki 'standard', yaitu acuan dasar dari seluruh tindakan manusia di dalam menghidupi hidupnya. Dan yang terakhir, etika manusia memiliki 'goal', yaitu tujuan, atau desired effect, dari seluruh hal yang ia kerjakan. Untuk eksposisi yang lebih lanjut, kita dapat membaca penguraiannya di dalam Christian Theistic Ethics (Van Til, 1980).
Dengan mengambil paralel dari pemikiran tersebut, kita dapat melihat bahwa konsep makna hidup bisa dilihat berdasarkan framework “motive, standard, dan goal”. Makna hidup seseorang pasti ada penentunya, entah itu manusia itu sendiri, atau pribadi yang lain (motive). Makna tersebut pasti memiliki isi yang dapat dinilai berdasarkan sebuah standard tertentu, dan makna hidup pasti memiliki 'desired effect', atau efek dari makna hidup yang diyakini seseorang (goal).
Who gave the meaning?
Satu-satunya yang dapat dan boleh memberikan tujuan di dalam hidup kita adalah Tuhan. Ini dikarenakan Tuhan adalah Sang Pencipta dan kita adalah ciptaan-Nya. Hal ini mungkin dapat digambarkan dengan lebih mudah menggunakan analogi mengenai seorang pengolah kayu dan kayu olahannya. Ketika si pengolah kayu mengolah karyanya, ia tahu persis mengapa ia membuat kursi dan bukan meja ketika ia hendak membuat sebuah barang untuk diduduki. Kursi tersebut tidak mendapatkan tujuan dan makna dari pihak lain, apalagi dari dirinya sendiri. Kursi tersebut mendapatkan makna dari penciptanya. Dengan pola yang sama, kita dapat melihat bahwa bahwa Tuhan mencipta kita dengan maksud dan makna yang Ia sendiri sudah tentukan bagi kita. Kita tidak mendapatkan makna dari sesama ciptaan, lingkungan sekitar kita, ataupun dari diri kita sendiri.
Hal ini bukanlah sekadar produk pemikiran logis kita sebagai orang Kristen, melainkan Alkitab dengan jelas menyatakannya (Kej. 1:26-28). Ketika Tuhan menciptakan Adam, Tuhan menciptakannya beserta dengan satu set hak dan kewajiban mengenai apa yang Adam harus lakukan. Adam tidak lahir dengan sebuah tujuan entah dari siapa, melainkan dengan sebuah tujuan yang jelas dari Sang Pencipta. Oleh karenanya, tanpa mengenal Tuhan – Pencipta kita – pertanyaan tentang tujuan hidup hanya akan dijawab dengan running in circles.
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini (mengapa hidup, untuk apa hidup, dan lain-lain) memang harus ada karena kita adalah peta dan teladan Allah. Oleh karenanya, tanpa hubungan yang baik dengan Sang Pencipta, kita akan terus bertanya tanpa pernah mendapatkan jawabannya. Di tengah kebingungan ini, pertanyaan yang seharusnya membawa manusia untuk mencari Allah, akhirnya brushed off begitu saja, atau kita terus mencari jawabannya tanpa memiliki arah yang jelas. Akhir kata, tidak ada tempat yang lain untuk mengetahui diri kita (tujuan ataupun makna hidup) di luar Tuhan, Sang Pencipta kita. [JA]

