Dalam artikel “Belajar Theologi: Untuk Apa dan Bagi Siapa? Kita sudah membahas bahwa orang Kristen perlu mempelajari theologi karena theologi adalah pengenalan akan Allah dan pengenalan ini adalah hidup yang kekal (Yoh. 3:16; 17:3); dan bahwa manusia tidak dapat dipuaskan oleh hal-hal yang sensual dan duniawi. Namun, Bavinck mengatakan bahwa ada sebagian orang yang tidak mencari kepuasan di dalam hal-hal sensual dan ideal, melainkan di dalam hal-hal yang bernilai dan ideal: ilmu pengetahuan, filsafat, seni, etika, kebudayaan, dan kemanusiaan. Hal-hal ini, meskipun secara relatif lebih baik, tetap merupakan bagian dari dunia yang sedang lenyap (1Yoh. 2:7).
Ilmu pengetahuan terbukti telah meringankan berbagai beban manusia, misalnya penemuan antibiotik yang mengurangi infeksi dan penemuan sistem komputer yang mempercepat penyelesaian pekerjaan. Namun, ilmu pengetahuan selalu bersifat terspesialisasi dan terbatas. Beberapa teori yang awalnya dianggap pasti dan universal sekarang menjadi terbatas dalam cakupannya seperti teori atau hukum Newton yang awalnya berlaku universal namun sekarang dibatasi hanya untuk benda bermassa besar dengan kecepatan yang rendah. Ilmu pengetahuan dapat menjelaskan mekanisme alam semesta tanpa memberi tahu kita alasan dan tujuannya: ilmu kedokteran dapat menjelaskan mekanisme euthanasia tanpa menjelaskan apakah euthanasia itu benar atau salah, baik atau jahat, dan fisika dapat menjelaskan frekuensi bunyi namun bukan keindahan simfoni Beethoven.
Begitu juga dengan filsafat. Filsafat selalu dimulai dengan optimisme dan berakhir dengan pesimisme; dimulai dengan kepastian yang kemudian berubah menjadi misteri dan keputusasaan. Contohnya, filsafat modern lahir untuk melawan otoritas (khususnya agama) yang dianggap membatasi pikiran manusia. Filsafat modern membebaskan pikiran manusia dari kekangan otoritas dengan optimisme memaksimalkan potensi pikiran manusia. Kemajuan muncul, rasa optimis timbul, sampai akhirnya berakhir dengan Perang Dunia I dan II. Filsafat dan ilmu pengetahuan, tanpa kebajikan dan dasar moral, menjadi alat bagi hati yang rusak oleh dosa. Postmodernisme lahir untuk mengkritik optimisme filsafat modern namun pada akhirnya terus membawa kemunduran dan pesimisme sampai hari ini.
Demikian halnya dengan seni. Seni mengungkapkan kerinduan terdalam manusia dan keinginan yang tak terpuaskan akan harmoni. Dalam lukisan dan musik, kita menemukan harmoni indah yang menyegarkan jiwa dan menghibur hati yang lelah. Seni menyajikan dunia ideal kepada kita dan seolah-olah mengangkat kita ke dalam realitas lain yang lebih tinggi. Namun, seni hanya memberikan dunia ideal ini dalam imajinasi. Ketika kita selesai menikmati lukisan atau musik yang agung, kita tetap berhadapan dengan dunia bermasalah yang sama. Seni tidak dapat menjembatani dunia nyata kita ini dengan dunia ideal, dan tidak menyediakan cara untuk membawa kita ke sana.
Terkait dengan budaya, etika dan kemanusiaan, kita menyadari bahwa secara natural, kita membenci sesama kita (Katekismus Heidelberg, pertanyaan ke-5). Tindakan kebaikan dan kemanusiaan tidak muncul secara otomatis; diperlukan kekuatan yang besar untuk melawan keinginan pribadi kita. Selain itu, di balik setiap tindakan baik ini terdapat egoisme diri yang jahat seperti memperoleh pujian dan penerimaan dari masyarakat. Ditambah lagi, pada umumnya orang yang kita kasihi tidak mudah dikasihi: mereka tidak tahu berterima kasih dan menyalahgunakan kebaikan kita. Tanpa penebusan Kristus, manusia sangat mudah kehilangan motivasi; dan tanpa hukum Allah, manusia kehilangan standar dan konsistensi di dalam seluruh tindakannya.
Hal yang sensual dan ideal, yang duniawi dan bernilai, keduanya tidak dapat memuaskan manusia. Hanya Allah dan Allah saja, yang adalah kebaikan tertinggi manusia, yang dapat memuaskan manusia. Dan karena theologi berbicara mengenai pengenalan akan Allah dan bagaimana pengenalan ini berkait dengan seluruh bidang kehidupan kita, maka kita perlu belajar theologi. Maka belajar theologi sebenarnya adalah pembelajaran untuk menjadi manusia itu sendiri. (MR)

